Google
Web This Blog

Cbox

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool

Sabtu

Deteksi Penyakit Melalui Analisa Suara

Deteksi Penyakit Melalui Analisa Suara


Berdekade lamanya perangkat lunak pengenal suara sudah dapat
mendeteksi kata-kata dan mengubahnya menjadi teks, atau merespon
perintah. Namun sekarang para pengembang menyelam lebih dalam :
mereka meneliti kualitas akustik suara untuk mengetahui kondisi medis
atau bahkan emosi sang pembicara.
Sebuah peranti lunak tengah dikembangkan untuk mendeteksi apakah
seseorang menderita penyakit saraf atau masalah kejiwaan. Bahkan ada
apps yang dapat mengetahui apakah seseorang itu lelah, atau depresi.
Sejumlah pakar mengatakan teknologi ini kemungkinan besar dapat
diterima dengan baik - tapi tidak semua orang setuju bahwa ini adalah
sesuatu yang bagus.
Diagnosa obyektif
Max Little, ahli matematika dan peneliti untuk Institut Teknologi
Massachusetts (MIT), telah mengembangkan teknologi analisa suara yang
dapat mendeteksi penyakit Parkinson's.
Little dan timnya telah mengumpulkan sampel audio dari orang-orang,
yang menderita dan tidak menderita Parkinson, saat berkata "aaah."
Kalau suara orang sehat terdengar kuat dan stabil, getaran terdengar
pada suara penderita Parkinson
Menggunakan algoritma mesin pembelajaran untuk mendeteksi getaran
dalam suara, Little telah mengembangkan model yang dapat
mengidentifikasi kualitas suara seseorang yang menderita Parkinson -
dengan keakuratan sekitar 99 persen.
Parkinson's Voice Initiative kini mengolah angka dari 17.000 sampel
audio yang terkumpul untuk mencoba dan menjawab pertanyaan apakah
teknologi ini cocok untuk ponsel.
Little menyebut deteksi Parkinson melalui ponsel "amatlah nyaman dari
segi teknologi," karena tigaperempat warga dunia memiliki akses
terhadap ponsel. Namun keuntungan lain menggunakan perangkat lunak
semacam ini untuk mendiagnosa penyakit adalah menghilangkan
subyektivitas manusia.
Tes untuk Parkinson dan penyakit saraf lainnya melibatkan opini pakar
klinis. Ini dapat berujung pada jawaban yang berbeda-beda karena
berdasarkan penilaian manusia.
Musik otak
Jörg Langner, matematikawan di Rumah Sakit Charité di Berlin,
mengambil inspirasi dari musikologi. Ia membuat sebuah model analitis
yang membaca enam fitur dalam suara: kenyaringan, artikulasi, tempo,
ritme, melodi dan warnanada.
"Semua yang terjadi pada otak mempengaruhi produksi wicara," kata
Langner. "Oleh karenanya kami dapat melacak apa yang terjadi pada otak
melalui analisa suara wicara."
Riset terkini Langner terkait aplikasi klinis fokus terhadap diagnosa
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) pada anak-anak.
Berdasarkan analisa suara, Langner menemukan perbedaan ucapan antara
anak dengan ADHD dan tanpa, termasuk fluktuasi pada kenyaringan wicara
dan melodi.
Tim Langner juga mengklaim berhasil mendeteksi tingkatan depresi. "Ini
dapat berguna untuk mencegah tindakan bunuh diri," jelas Langner.
Serba Tahu?
Jarek Krajewski, seorang psikolog di Universitas Wuppertal, telah
meriset bagaimana analisa suara dapat digunakan untuk mendeteksi
kondisi emosi seseorang.
"Bisa sangat mendasar, seperti amarah, kesedihan atau gembira," tutur
Krajewski. "Atau bisa juga sesuatu yang cukup abstrak, seperti
kepercayaan diri."
Menurut Krajewski ada ratusan potensi aplikasi, termasuk untuk dunia
bisnis, sains, gaming, pemasaran, perawatan kesehatan dan dunia
kencan.
Namun Krajewski memperingatkan bahwa teknologi ini juga memiliki risiko.
"Tidak lama lagi mungkin emosi tidak lagi privat di dunia ini,"
katanya. Pemerintah, perusahaan asuransi, dan lainnya dapat memonitor
emosi dan kepribadian, tambah Krajewski, "dan mengambil kesimpulan
yang mungkin tidak menguntungkan bagi orang yang dimonitor."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar